Minggu, Januari 27, 2008

Pandangan Sang Jenderal Smile


SOEHARTO adalah manusia biasa. Ia mempunyai hati dan pikiran yang sama dengan manusia lain. Ia bukan selevel atau sederajat dengan malaikat, karena memang Soeharto adalah manusia yang bukan berasal dari alam malaikat.
LAHIR dari anak seorang petani, Soeharto berhasil melakukan lompatan quantum hingga akhirnya diperaya penduduk negeri ini sebagai seorang kepala negarayang memiliki wibawa, kharisma, kekuasaan dan harga diri.
Keberhasilan Soeharto mengangkat derajatnya dari wong ndeso menjadi manusia 'terhebat' -- karena kekuasaannya-- tak lepas dari pandangan hidup dan spiritnya untuk terus meraih kesuksesan. "Pandangan hidup saya berdasarkan percaya kepada Tuhan, percaya kepada kekuasaan-NYA. Dengan begitu, maka dengan sendirinya saya percaya bahwa apapun yang dikehendaki Tuhan, pasti bisa terjadi," kata Soeharto suatu hari.
Secara eksplisit apa yang diungapkan Soeharto itu, merupakan bahwa ia mempercayakan sepenuhnya semua kehidupan yang ia jalani ini kepada Tuhan. Soeharto juga percaya dengan takdir yang di dalamnya menyangkut kebahagiaan dan kematian. Semua manusia mempunyai garis yang sama. Dan garis kesuksesan itu tak bisa ia tarik kembali (diulang), karena terbentur usia dan fisik.
"Saya percaya kepada takdir manusia yang telah digariskan oleh Tuhan. Janganlah menyesal, jangan susah. Kita tinggal pasrah saja. Tidak perlu kita kaget (terhadap) sesuatu yang seolah-olah merupakan keistimewaan pada seseorang. Tidaklah menyebabkan kita heran. Tidaklah perlu kita terbelalak dibuatnya sampaimengucapkan wah hebat sekali," tutur Soeharto.
Jauh-jauh hari sebelum kekuasaan yang ia pegangnya terhempas ke tanah, Soeharto sudah mengetahuinya karena kehidupan ini tidak selamanya berada di puncak."Kalau kita mempunyai kedudukan, kekayaan, mempunyai sesuatu yang lebih, jangan lupa bahwa sewaktu-waktu hal itu bisa berubah kalau Tuhan menghendakinya. Sebabitu aja dumeh (jangan mentang-mentang) memiliki kedudukan tinggi terus bertindak sewenang-wenang."
Meskipun Soeharto kerap mengajarkan nilai-nilai kesabaran, adakalanya juga pria itu tak berhasil menahan emosinya, manakala berbagai macam fitnah menghampirinya. Oktober 1974, Soeharto tiba-tiba memanggil G Dwipayana. Kepada Dipo --panggilan akrabnya-- Soeharto meminta agar lelaki itu membuat tulisan untuk membantah sebuah majalah yang telah menurunkan tulisan mengenai asal-usul Soeharto.
Bantahan Soeharto itu harus dimuat di semua surat kabar terbitan Jakarta dan majalah. Tak hanya itu. Selang sehari setelah itu, Soeharto mengumpulkansemua wartawan di Bina Graha. Di kamar kerjanya, secara pribadi Soeharto memberikan keterangan pers kepada wartawan lokal maupun asing. "Saya mestimenjelaskan silsilah saya karena ada yang menulis buka-bukaan di sebuah majalah," cetus Soeharto ketika itu.
Pada saat itu Soeharto tampaknya marah besar. Bahkan, sebelum memberikan keterangan pers secara pribadi, Soeharto juga menghadirkan beberapa orang saksi yang masih hidup dan tahu betul seluk-beluk atau jati dirinya.
"Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkalpun. Saya berterus terang, di dalam menghadapi kehidupan sewaktu kecil saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain," ungkapnya.
Soeharto khawatir tulisan-tulisan yang tidak benar mengenai silsilah dirinya bisa ditafsirkan yang tidak-tidak oleh masyarakat. Akibatnya, Soeharto merasa dirugikan secara pribadi, keluarganya dan para leluhurnya serta kepada negara dan bangsa. Apalagi pada waktu itu posisi Soeharto adalah seorang Presiden RI yang masih aktif.
"Dalam bahasa Jawa ada pepatah sadumuk bathuk, sanyari bumi. Sekalipun hanya di-dumuk, tapi batuknya, berarti mengenai harga diri keluarga dan pribadinya, sehinggabisa menimbulkan hal- hal yang tak diinginkan," jelas Soeharto.
Menurut dia, gara-gara pemberitaan tersebut masyarakat menjadi bingung. "Sebenarnya presiden yang sekarang itu keturunan dari mana? Kalau itu sudah menimbulkan pembicaraan, timbul kemudian pro dan kontra," jelasnya sambil menambahkan, jika sudah begitu maka lahir kelompok subversi dengan gerpolnya dan dapat meningkatkan gangguan stabilitas nasional.
Soeharto juga menyingung isi tulisan di majalah terbitan Jakarta yang mengatakan bahwa ketika dirinya masih berusia enam tahun, ibunya menyerahkan kepada seorang temannya di Desa Kemusuk.
"Kalau tulisan itu benar, ini menggambarkan martabat seorang wanita yang tidak ada harganya. Mungkin bisa menimbulkan kesan lebih dari itu. Kenapa begitu mudahdiserahkan dengan begitu saja istri dan anak yang berumur enam tahun? Mungkin karena perkawinannya tidak sah. Jadi kalau tidak sah, berarti anak haram atauanak jadah? Apakah ini tidak akan merugikan nama bangsa dan negara?" tanya Soeharto.
Gara-gara pemberitaan itu, Soeharto mengaku bahwa ia terpaksa membuka rahasia pribadinya demi untuk pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Soeharto sendiri merasa tidak menyesal menceritakan asal-usulnya kepada publik melalui pers.
"Semuanya itu saya terima sebagai keadaan yang menimpa diri saya, mulai lahir sampai sekarang sebagai bekal hidup saya hingga kini," tuturnya. (AS)

Pandangan Sang Jenderal mantan Presiden Soeharto 1


SELAMA terbaring di rumah sakit pada usianya yang 86 tahun, banyak spekulasi tentang kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto. Sejumlah paranormal berkomentar dari soal jimat, susuk, dan yang bau-bau seperti itu.
Kini, tokoh fenomenal yang terlahir dari keluarga petani di Desa Kemusuk, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, yang mencapi puncak kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia selama 35 tahun itu wafat. Lalu apa dan bagaimana pandangan hidup Soeharto?
ADALAH Ny Sukirah. Tepat 8 Juni 1921, seorang bocah keluar dari rahimnya. Tangis Soeharto kecil pecah, manakala Mbah Kromodiryo --seorang dukun bayi-- membantu persalinan Ny Sukirah. Mbah Kromo masih terhitung kerabat dekat dengan Soeharto. Pria itu adalah adik kandung kakeknya Soeharto.
Proses kelahiran Soeharto berjalan lancar. Bocah itu lahir di rumah ibunya di Desa Kemusuk, sebuah dusun terpencil di daerah Argomulyo, Godean --sebelah BaratYogjakarta. "Ayah saya adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memiliki tugasnya. Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya," kenangnya.
Soeharto adalah anak ketiga Kertosudiro. Dari istri yang pertama, Kertosudiro mempunyai dua anak. Sebagai duda, Kertosudiro bertemu dengan Sukirah. "Tetapihubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai," tutur Soeharto.
Beberapa tahun kemudian Ny Sukirah menikah lagi dengan Atmopawiro. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai tujuh orang anak. "Sementara ayah saya menikah lagi dan mendapatkan empat anak," ujarnya.
Soeharto kecil belum genap berusia 40 hari. Sukirah mengendong bayinya ke rumah Mbah Kromodiryo, dengan alasan dirinya sedang sakit dan tak bisa memberikanair susu ibu. Di rumah itulah Soeharto ditimang-timang Mbah Amat Idris. "Mbah Kromo yang mengajar saya berdiri dan berjalan dan seringkali beliau membawasaya kemana-mana kalau beliau pergi bertugas keluar rumah. Kalau Mbah Kromo putri menjalankan prakteknya sebagai dukun bayi dan saya tidak dibawanya," kenangSoeharto.
Wajar saja kalau Desa Kemusuk merupakan desa yang tak bisa dilupakan Soeharto. Di tanah Kemusuk itu pula, Soeharto masih teringat betapa nikmatnya diajak jalan-jalan oleh Mbah Kromo ke sawah. Sesekali Soeharto berada di pungung Mbah Kromo yang sedang menyangkul sawah. Kadang-kadang Soeharto duduk di atas garu dan memberi isyarat kepada kerbau untuk maju, membelok ke kanan dan ke kiri.
"Lalu turun ke sawah bermain air bermandikan lumpur. Maka kalau terasa capek atau kepanasan, saya disuruhnya menunggu di pinggir, di pematang atau di jalan. Pada kesempatan ikut dengan Mbah Kromo, saya suka mencari belut yang jadi kesukaan saya waktu makan," kenangnya.
Saat Soeharto kecil berusia empat tahun, ia diambil kembali oleh ibu kandungnya dandiajak menetap di rumah Atmoprawiro, ayah tirinya.
***
KEPRIHATINAN hidup yang dialami Soeharto di masa kanak-kanak, termasuk masalah pendidikan keluarganya --menjunjung tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah lanjutan rendah, pendidikan agama sewaktu mengaji-- telah mempengaruhi watak Soeharto.
Selain itu, Soeharto mengaku diajari latihan spiritual oleh ayah angkatnya. Misalnya, puasa Senin dan Kamis. "Tidur di tritisan (di bawah ujung atap di luar rumah). Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh keyakinan. Ada anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di pawuhan, di tempat bekas bakaran sampah," kenang Soeharto dalam otobiografinya.
Pada masa itu, Soeharto mengaku ditempa untuk mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafat hidup. "Pada masa itulah saya menenal ajaran tiga 'aja'. 'Ajakagetan, aja gumunan, aja dumeh (jagan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang) yang kelak jadi pegangan hidup saya dan jadi penegak diri saya dalammenghadapi soal-soal yang bisa menguncangkan diri saya. Saya ingat terus ajaran leluhur, hormat kalawan gusti, guru, ratu dan wong tuwo karo (hormat kepadaTuhan Yang Maha Esa, guru pemerintah dan kedua orang tua)," paparnya.
Suatu hari Soeharto pernah menjelaskan soal mistik. Katanya, pengertian mistik adalah ilmu kebatinan, bukan klenik. Tujuan ilmu kebatinan ialah mendekatkanbatin dengan pencipta -- Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita, ilmu kebathinan itu adalah untuk mendekatkan batin kita kepada-NYA. Itu antara lain berdasarkan ilmu kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi dan ilmu kasampurnaning hurip (kesempurnaan hidup). Itulah kebatinan yang sebenarnya," kata Soeharto, suatu hari seperti dalam otobiografinya.
Bahkan, Soeharto menilai masyarakat kadang salah kaprah karena mengira ilmu kebatinan itu adalah ilmu klenik. "Ajaran agama juga sebetulnya sama saja. Agamaitu mengajarkan supaya kita dekat kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan, takwa berarti tunduk, patuh kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-NYA," tambah Soeharto.
Soeharto mengakui bahwa Tuhan itu ada sekalipun tidak berwujud. "Jadi ini soal keyakinan. Tidak hanya orang beragama saja yang percaya, berdasarkan iman bahwaTuhan itu ada. Orang yang mengolah kebatinan pun menyadari kehidupan itu demikian halnya, percaya bahwa Tuhan itu ada," jelas Soeharto.
Soeharto mengingatkan, kalau ingin memperdalam kebatinan, ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, manusia harus bisa mengendalikan dua sifat yang bertentangan pada manusia. "Ilmu klenik adalah ilmu kanuragan, ilmu untuk mencari kesempurnaan hidup, tetapi batinnya bukan didekatkan kepada Tuhan, melainkan hanya untuk kandel tipising kulit. Fisik saja. Jadi kebal senjata," paparnya, sambil menambahkan untuk mempunyai kekuatan semacam itu bisa diperoleh melalui ilmu klenik. "Ini juga ilmu. Tetapi hanya untuk kekuatan badan, bukan untuk kekuatanbatin." (dd)

Mantan Presiden Soeharto Dimakamkan Di Astana giri bangun bandara Sumarmo Disiagakan




KRC, Jakarta


Innalilahiwainalilahi Rojiun Soeharto akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Jakarta yang sejak pagi hari mendung (berawan) seakan ikut melepas kepergian Soeharto. Isak tangis meledak di RSPP. Sanak keluarga Soeharto, semuanya berkumpul menjelang detik-detik terakhir Soeharto berulang ke Rachmatullah. Sebelumnya, Soeharto belum melewati masa-masa kritisnya setelah sejumlah organ tubuhnya gagal berfungsi. Menurut tim dokter yang merawatnya, sejumlah organ tubuhnya --jantung, paru dan ginjal-- gagal berfungsi. Lalu apa wasiat Soeharto? Jauh-jauh hari ketika ia masih berkuasa, Soeharto pernah berwasiat jika Tuhan memanggilnya kelak.
Ia minta dimakamkan di Astana Giri Bangun. Ketika itu menurut Soeharto, sebenarnya istrinya almarhum Bu Tien Soeharto bisa saja dimakamkan di taman makam pahlawan karena Bu Tien pemegang bintang gerilya. Akan tetapi, Bu Tien sendiri, kata Soeharto, telah mendirikan Yayasan Mangadeg Surakarta --makam keluarga di Astana Giri Bangun. "Dan masak kan saya akan pisah dari istri saya. Dengan sendirinya saya pun mintadimakamkan di Astana Giribangun bersama keluarga. Kami tidak mau menyusahkan anak cucu kami, jika mereka nanti berziarah," kata Soeharto seperti tertuang dalam buku otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Pada tahun 1989, Soeharto sudah mengetahui kalau tindakan mendirikan Astana Giribangun mengundang reaksi dari masyarakat. "Memang saya pun mendengar orang bicara bahwa belum juga saya mati, saya sudah membuat kuburan. Padahal yang sebenarnya kuburan itu kami buat untuk yang sudah meninggal, antaranya untuk ayah kami (mertua saya). Selain itu, pikiran saya menyebutkan, apa salahnya... sebab toh akhirnya kitaakan meninggal juga. Kalau mulai sekarang kita sudah memikirkannya, itu berarti kita tidak akan menyulitkan orang lain. Asalkan tidak menggunakan yang macam-macam, apa jeleknya?" tanyanya.
Soeharto juga membantah adanya isu bahwa Astana Giribangun itu dihiasi dengan emas. "Omong kosong. Tidak benar! Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri," tutur Soeharto sambil menambahkan bahwa bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulungagung.
Menurutnya, di ketiga pintu Astana Giribangun ada tulisan yang mengutip pucung, berisikan pegangan hidup yang sudah diajarkan nenek moyang secara turun temurun. "Hendaknya kita pandai-pandai menerima omongan orang yang menyakitkan tanpa harus sakit hati, ikhlas kehilangan tanpa menyesal dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa."
Selain berbicara soal Astana Giribangun, Soeharto juga mengakui bahwa sebagai manusia dirinya tidak luput dari kesalahan. "Saya pun tahun saya tidak luput dari kesalahan. Maka seperti berulangkali pernah saya katakan, disini pun saya ulangi lagi, hendaknya orang lain mengikuti contoh-contoh yang baik yang telah saya berikan kepada nusa dan bangsa, dan menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama sayamemikul tugas saya," pesannya.
Apa wasiatnya? "Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini," tuturnya. (dn)