Minggu, Agustus 10, 2008

Dewan Salin Awasi KPK


KRC,JAKARTA -
Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) seperti perang dingin. Kedua institusi negara itu kini saling mempersiapkan instrumen untuk mengawasi satu sama lain.

Setelah KPK mendapat pintu untuk mengawasi pembahasan RAPBN di parlemen, kalangan DPR juga mempersiapkan mekanisme untuk mengawasi kinerja lembaga antikorupsi itu. Sejumlah anggota DPR menegaskan akan lebih ketat mengontrol serta mengawasi kerja KPK.

''Perlu saya tegaskan, DPR tidak begitu saja mengizinkan KPK masuk dalam rapat-rapat di DPR. Kalau KPK mau ikut sidang, harus seizin DPR,'' tegas Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Gayus Lumbuun kepada Jawa Pos kemarin (9/8).

Menurut dia, DPR akan meningkatkan pengawasan terhadap KPK lewat komisi III yang membidangi hukum, perundang-undangan, HAM, dan keamanan. Misalnya, komisi III kini menggodok tata cara atau mekanisme penyadapan yang dilakukan KPK.

Anggota DPR dari FPDIP itu menyebutkan bahwa KPK harus menjelaskan kepada para wakil rakyat tentang mekanisme penyadapan. ''KPK tidak boleh lagi sembarangan menyadap anggota DPR. Kontrol kepada KPK dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan yang dimiliki DPR,'' jelasnya.

Sebagaimana diketahui, investigasi korupsi yang dilakukan KPK lewat penyadapan telepon dan SMS telah menangkap sejumlah anggota DPR. Termasuk, Al Amin Nasution, anggota FPPP yang tertangkap basah menerima suap dari Pemkab Bintan. Saat ini, beberapa anggota DPR meringkuk di tahanan KPK dengan berbagai kasus korupsi.

Gayus mengungkapkan, memang ada yang mengusulkan agar DPR pasca-Pemilu 2009 membentuk komisi baru yang khusus membidangi korupsi. Semacam komisi antikorupsi. Sebab, selama ini, cakupan pembahasan korupsi di Komisi III DPR kurang luas karena berbenturan dengan tugas pengawasan di bidang perundangan, HAM, serta keamanan.

''Mungkin bisa saja dibentuk komisi khusus antikorupsi di DPR agar peran DPR ikut memberantas korupsi juga terlihat. Tapi, tidak untuk saat ini. Sekarang cukup komisi III itu,'' paparnya.

Mitra kerja komisi antikorupsi itu nanti adalah KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sementara itu, mitra kerja komisi hukum (saat ini komisi III) adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional HAM, Setjen Mahkamah Agung, Setjen Mahkamah Konstitusi, Setjen MPR, Setjen DPD, Badan Pembinaan Hukum Nasional, serta Komisi Yudisial.

''Namun, untuk saat ini, konsentrasi pengawasan kepada KPK hanya ada di Komisi III DPR. Komisi antikorupsi bisa saja dibahas oleh anggota baru DPR pasca-Pemilu 2009,'' ujarnya.

Yang jelas, kata dia, KPK tetap akan diawasi oleh DPR. Misalnya, terkait dengan bujet dan anggaran.

Politikus PBB Hamdan Zoelva menambahkan, kiprah KPK memang harus dikontrol agar tidak melenceng dari semangat awal saat dibentuk. Dalam penanganan korupsi, kata dia, KPK harus menjalankan fungsi koordinasi, supervisi (penyidikan), solusi (pencegahan), dan monitoring. ''Peran utama KPK adalah memberi pendidikan dan melakukan pencegahan. Tidak langsung menjadi eksekutor,'' tegas Hamdan di Jakarta kemarin.

Dia menilai, kengototan KPK mengikuti langsung rapat di DPR merupakan tindakan yang kurang tepat. ''KPK tidak harus face to face terlibat langsung. Seharusnya KPK cukup memeriksa hasil pembahasan dan memberi rekomendasi jika dinilai ada yang menjurus pada penyelewengan anggaran,'' ujarnya.

Mantan anggota DPR dari PBB tersebut menyatakan, secara historis, DPR selalu meng-up date pembentukan komisi sesuai kepentingan dan beban kerja DPR. Misalnya, pada Pemilu 1999 menghasilkan sembilan (IX) komisi. Namun, pada Pemilu 2004, DPR memekarkan komisi menjadi sebelas (XI) komisi. Ada komisi yang dipecah cakupannya dengan membuat komisi baru.

Merujuk kondisi saat ini, kata dia, bisa saja dibentuk komisi baru yang khusus menangani korupsi. Komisi antikorupsi tersebut akan menjadi mitra KPK. ''Kalau sudah seperti itu, KPK tidak perlu repot-repot minta ikut sidang DPR. Tinggal jalan saja dengan komisi antikorupsi yang dibentuk itu,'' jelasnya.

Sutan Bhatoegana, sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, menuturkan, dirinya juga khawatir tidak ada yang mengontrol KPK. Sebab, kata dia, sampai saat ini, Komisi III DPR terkesan tidak fokus membahas agenda korupsi pada sidang-sidangnya. ''Mungkin saja perlu dibentuk komisi antikorupsi agar fungsi pengawasan DPR bisa lebih maksimal,'' tegasnya.

Secara teknis, komisi antikorupsi DPR berjalan bersama KPK. Bahkan, bisa juga komisi antikorupsi DPR mendapat kewenangan aktivitas kerja seperti yang dimiliki KPK.

Anggota Komisi VI DPR Zulkifli Hasan menambahkan, meski telah diizinkan bisa mengikuti rapat pembahasan anggaran di DPR, KPK harus bekerja sesuai tugasnya. KPK mengawasi penyusunan anggaran, DPR bertugas di fungsi pengawasan, budgeting, dan membuat UU.

''Semestinya, memang bukan siapa harus mengawasi siapa, tapi semua harus tetap bekerja sesuai tugas dan fungsi masing-masing,'' ujarnya kemarin. (yy)