Sabtu, Januari 26, 2008

Komisi VI Tuding Pemerintah Gagal Dalam Kedaulatan Pangan


KRC, Jakarta


- Naiknya sejumlah harga kebutuhan pokok, seperti beras, kedelai, terigu, minyak goreng, dan telur, mendapat sorotan tajam dari parlemen. Pemerintah dituding memiliki andil atas lemahnya kedaulatan pangan Indonesia. Ironisnya, pemerintah berlindung di balik fluktuasi harga di pasar dunia."Kondisi ini bukti ketidakberdayaan kekuatan politik nasional," kata anggota Komisi VI Hasto Kristianto (FPDIP) di press room DPR kemarin (25/1). Turut mendampingi dua anggota komisi VI lainnya, Choirul Sholeh (FKB) dan Nasril Bahar (FPAN).Tak hanya itu, Hasto juga menilai pemerintah selalu lamban dalam mengambil kebijakan untuk mengatasi kenaikan tersebut. Sikap itu berbeda jauh bila dibandingkan dengan "semangat" pemerintah melindungi korporasi. Tanpa ragu-ragu, lanjut dia, pemerintah menggunakan perpu untuk mengambil anggaran dari pos APBN."Bila politik itu berpihak, mengapa untuk kepentingan petani, pemerintah tidak punya keberanian?" kritiknya. Padahal, selain perpu, pemerintah memiliki instrumen bantuan sosial sebesar Rp 35 triliun dan dana cadangan APBN Rp 2 triliun. "DPR tidak mungkin menolak proposal presiden karena ini memang mendesak," ujarnya.Menurut Hasto, fakta itu membuktikan bahwa cara berpikir pemerintahan SBY-JK mendewa-dewakan investor, terutama aliran kapital dari asing. Dengan demikian, mentalitas ambil jalan pintas dengan melakukan impor masih dominan. "Pemerintah lupa bahwa petani yang jumlahnya sekitar 24,5 juta itu juga bisa jadi investor. Merekalah pilar utama kedaulatan pangan," tegasnya.Para anggota komisi VI itu juga mengkritik pedas upaya pemerintah untuk menjual pabrik pupuk ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) di Provinsi NAD. "Selain harganya yang terlalu murah, prosesnya tidak transparan," kata Nasril Bahar.Dia menyebut, penjualan BUMN tersebut adalah contoh konkret ketidakpekaan presiden atas penderitaan petani akibat kelangkaan pupuk pada masa tanam. Hal itu jugalah yang bakal memicu ketidakberhasilan Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan pangan. (don)

Polycarpus Jadi Tumbal Dituding Bunuh Munir




KRC,JAKARTA -
Drama pembunuhan aktivis HAM Munir kembali memunculkan kejutan baru. Pollycarpus Boedihari yang sudah menghirup udara bebas harus meringkuk lagi di penjara. Pilot Garuda yang menjadi terdakwa pembunuhan menggegerkan itu, tadi malam (25/1) dijebloskan ke Lapas Cipinang setelah siangnya Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 20 tahun.Vonis itu menjadi kado ulang tahun yang menyesakkan bagi Polly yang hari ini berusia 47 tahun. "Ini putusan yang penuh rekayasa. Akrobatik hukum," ujar Polly. Ayah dua anak itu dieksekusi pukul 22.37. Sebenarnya Polly ingin didampingi pengacara, namun tim jaksa yang menjemputnya tak mengindahkan permintaan itu. Terpidana diboyong ke Cipinang dengan mobil tahanan Isuzu Panther berpelat B 2107 BQ warna silver.Didampingi istri, Polly masuk mobil tahanan sambil melambaikan bendera Merah Putih dan meneriakkan "merdeka". Yosepha Herawati Iswandari, istri Polly, tampak tegar duduk di kursi depan, sementara Polly di belakang. "Saya ikuti prosedur hukum sebagai warga negara yang baik. Saya meminta segala tuduhan dibuktikan dengan jelas," ujar Polly sebelum masuk mobil tahanan.Putusan vonis 20 tahun itu muncul setelah MA menerima peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung. Putusan tersebut lebih berat daripada vonis sebelumnya. Awalnya, Polly divonis 14 tahun oleh PN Jakpus. Di pengadilan tinggi, vonis tak berubah. Namun, di tingkat kasasi, pilot senior Garuda itu dinyatakan tidak terbukti membunuh, hanya terbukti menggunakan surat palsu. Karena itu, putusan kasasi hanya dua tahun. Desember 2006, dia bebas. Kemarin, MA memutus dia harus kembali ke penjara. Putusan MA tersebut tertuang dalam putusan bernomor 109/PK/Pid/2007. Dalam putusan itu, Polly dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bertindak pidana. Yaitu, melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dan memalsukan surat untuk melakukan perjalanan ke Singapura pada 7 September 2004. "Karena itu, terpidana dihukum penjara selama 20 tahun," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi yang membacakan putusan tersebut di kantornya kemarin (25/1).Dia menjelaskan, pengabulan PK tersebut diputuskan dalam rapat musyawarah MA, Jumat (25/1), yang dipimpin Bagir Manan, ketua majelis hakim yang juga ketua MA. Empat anggota majelis adalah Parman Suparman, Djoko Sarwoko, Paulus Effendy Lotulung, dan Harifin A. Tumpa.Apa dasar pertimbangan putusan MA tersebut? Anggota Majelis Djoko Sarwoko yang mendampingi Nurhadi tidak merinci pertimbangan majelis. Hanya, dua hal yang menjadi dasar pertimbangan adalah adanya kekeliruan nyata dari hakim dan adanya novum. "Menurut majelis hakim agung, kedua alasan itu dapat dibenarkan," ujar Djoko yang juga juru bicara MA itu.Apakah salah satu novum yang digunakan adalah kesaksian pejabat BIN Budi Santoso (BS)? Djoko mengakui ada bukti-bukti baru yang dilampirkan dalam permohonan PK, termasuk kesaksian BS. "(kesaksian BS) Itu ada, tapi tidak masuk pertimbangan. Itu kan untuk pemeriksaan di sana (pengadilan, Red)," jelasnya. Meski demikian, dia tidak memungkiri novum tersebut menjadi dasar untuk memperkuat keyakinan majelis hakim agung.Menurut Djoko, tidak ada dissenting opinion di antara majelis hakim agung dalam mengambil putusan tersebut. "Putusannya bulat. Kelima hakim berpendapat sama," katanya.Namun, sumber Jawa Pos di MA menyebutkan terjadi dissenting opinion di antara majelis hakim agung. Perbedaan tersebut berkisar pada tinggi rendahnya putusan. Dua hakim agung, yakni Parman Suparman dan Harifin A. Tumpa, tidak setuju dengan hukuman 20 tahun. Alasannya, itu tidak sesuai dengan KUHAP. Meski demikian, pada dasarnya, mereka sepakat menyatakan pilot Garuda Indonesia tersebut bersalah.Djoko mengungkapkan, majelis hakim berpendapat bahwa pembunuhan Munir tidak terjadi dalam penerbangan pesawat Jakarta-Singapura. Namun, dia tidak menyebutkan lokasi pasti pembunuhan Munir. Apakah itu tidak berarti mengubah dakwaan? "Oh ya, tapi dakwaan kan hanya merupakan arah pemeriksaan perkara. Sekarang, pemeriksaan perkara sampai pembuktian kan terbukti seperti itu," terangnya.Terkait dengan motif pembunuhan berencana terhadap suami Suciwati tersebut, Djoko tidak bisa memastikan. Hanya, berangkat dari latar belakang Munir sebagai aktivis yang sering melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, dia menduga pembunuhan itu bermotif politik. "Mungkin bermotif politik karena dianggap membahayakan," katanya.Kejar Aktor IntelektualMenanggapi putusan MA tersebut, Koordinator Kontras Usman Hamid mengatakan, hal itu menjadi landasan bagi Polri dan kejaksaan untuk mengejar aktor intelektual di balik konspirasi pembunuhan Munir. "Tentu cukup melegakan, tapi kami belum puas karena masih menunggu aktor intelektualnya tersentuh," ujarnya.Putusan MA tersebut, lanjut dia, menunjukkan bahwa institusi pimpinan Bagir Manan itu memperhatikan fakta dan bukti-bukti baru yang disampaikan. "Bisa jadi bukti itu sangat kuat sehingga putusannya melebihi putusan pengadilan sebelumnya," katanya. "Barangkali ini adalah pembunuhan politik pertama di Indonesia yang pelakunya mendapat hukuman cukup berat," imbuhnya.Eksekusi Berjalan LambatPelaksanaan eksekusi terhadap terpidana Polly berjalan lambat. Itu terjadi karena terhambat birokrasi pelaksanaan eksekusi. Meski demikian, tim eksekutor kejaksaan dan kepolisian telah mengamankan rumah Polly sejak pukul 16.00 WIB untuk mencegah terpidana melarikan diri. Tim jaksa eksekutor dipimpin Aspidum Kejati DKI Fietra Sany dengan dibantu Kasi Pra Penuntutan Didik Farkhan. Tim dibagi dua. Satu tim mengamankan rumah Polly, sedangkan tim yang lain menyiapkan administrasi pelaksanaan eksekusi, khususnya salinan dan petikan putusan sebagai dasar eksekusi. Jawa Pos yang berada semobil dengan tim kedua mendapat informasi, berkas putusan yang diserahkan MA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak otomatis sebagai dasar eksekusi."PN Jakpus meminta tim eksekutor meminta tembusan kepada PN Tangerang terkait penerbitan surat eksekusi. Alasannya, lokasi rumah Polly di Tangerang, bukan di wilayah Jakpus," kata Didik. Di tengah perjalanan, tim kedua selalu mendapat telepon dari sekretaris JAM Pidum untuk memastikan bahwa eksekusi dilaksanakan tadi malam. "Dan, Polly harus masuk Cipinang malam ini (tadi malam, Red) juga. Semua jajaran kejaksaan diperintahkan untuk tidak pulang dari kantor sebelum eksekusi selesai," jelas Didik.Tim Panitera PN Tangerang didampingi tim eksekutor kejati akhirnya tiba di rumah Polly pukul 22.10. Mereka membawa enam lembar petikan putusan PK sebagai dasar pelaksanaan eksekusi. Mereka langsung masuk rumah Polly.Juru sita PN Tangerang H Suryadrama membacakan enam lembar petikan putusan di hadapan Polly dan Hera yang tampak tegar meski terlihat guratan wajah tegang. Sejumlah anak Polly tampak mengamati. Kepala Polly dielus-elus Hera di hadapan tim eksekutor. Usai pembacaan petikan, Polly tidak langsung menandatangani penerimaan berita acara serah terima petikan putusan. Dia meminta untuk menunggu kedatangan pengacaranya. Dalam suasana tegang itu, anjing peliharaan Polly menyalak-nyalak. Puluhan wartawan juga tampak bergabung di dalam rumah.Polly tetap kukuh bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir. "Sikap saya sudah jelas. Saya tidak ada urusan dengan Munir," kata Polly di rumahnya tadi malam. Meski demikian, dia tidak takut dengan putusan tersebut. "Kan yang memeriksa saya penegak hukum. Mengapa saya takut," sambungnya.Dia mengaku mendengar kabar putusan MA dari televisi dan radio. Awalnya, Polly bermaksud menjemput anaknya. Namun, hal itu urung dia lakukan karena banyak wartawan datang ke rumahnya. Dia juga membantah akan melarikan diri. "Kalau saya niat lari, untuk apa sekarang. Itu sudah saya lakukan sejak dulu," katanya. (don)