Kamis, Agustus 28, 2008

Mantan Sekwan Diperiksa Kejaksaan

KRC,MALANG -
Mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) 1999-2004 Nanang Winarto diperiksa secara maraton oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang kemarin. Nanang tidak sendirian. Dia bersama Kabag Keuangan Sekretariat Dewan (Setwan) Dian Mahendrawati dan beberapa staf setwan lainnya diperiksa sejak Selasa malam (26/8) hingga kemarin siang.Nanang adalah saksi ketujuh yang dihadirkan kejari dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi anggaran DPRD Kota Malang tahun 2004 senilai Rp 4,008 miliar. Nanang diperiksa oleh jaksa penyidik Ramli. Sayangnya, saat rehat penyidikan pukul 15.00, Nanang -yang sekarang menjabat Kadishub Kota Malang- itu enggan berbicara banyak. "Saya diperiksa selaku Sekwan periode itu. Hanya sebagai saksi," ujarnya tergesa-gesa. Materi pemeriksaan, lanjut Nanang, hampir sama dengan saksi-saksi terdahulu yang didatangkan kejari. Selain Dian, Kasubag Anggaran Sekwan Sukaryono juga dihadirkan kembali. Beberapa staf setwan, yakni Hetty dan Peni Sulistyorini, juga diperiksa lagi. "Mereka diperiksa sejak kemarin (Selasa, Red) sampai malam. Penyidikan berlanjut hari ini (kemarin, Red)," ujar Kajari Kota Malang Hermut Achmadi di ruang kerjanya kemarin.Hermut menjelaskan, saksi yang diperiksa tak bisa dipastikan jumlahnya. Sebab, penyidikan akan terus dilakukan sampai mengarah pada sasaran. Kajari kelahiran Semarang itu mengibaratkan penyidikan seperti makan bubur. Artinya, disisir daerah-daerah pinggirnya dulu, baru kemudian mengarah ke tengah. "Kalau langsung ke tengah, akan panas. Karena itu, kami akan terus menyisir dari pinggir," tandasnya.Dia menegaskan dasar hukum yang digunakan kejari untuk menyingkap kembali kasus yang sempat disidik 2005 lalu itu. Menurut dia, kejari menggunakan patokan Surat Edaran (SE) Mendagri 161/3211/SY tertanggal 29 Desember 2003 perihal pedoman kedudukan keuangan anggota dewan. Berdasarkan SE itu, sedikitnya ada delapan item pos anggaran yang disalahgunakan. Total nilainya Rp 4,008 miliar sebagaimana dibeber sejak awal. "MCW boleh mengatakan Rp 10 miliar. Tapi, kami memegang temuan Rp 4 miliar ini," tegasnya.Beberapa pos yang dinilai tak sesuai dengan SE yang juga implementasi PP 110 Tahun 2000, di antaranya, pos bantuan sosial kemasyarakatan, biaya kegiatan adeksi, koordinasi dengan pimpinan dewan, komunikasi, transportasi, kegiatan fraksi, kelancaran tugas, sampai uang kehormatan. Ada dua anggota DPRD 1999-2004 yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Yakni Agus Sukamto (ketua panggar DPRD saat itu) dan Zaenuri (sekretaris panggar DPRD saat itu). Agus sampai saat ini masih tercatat sebagai anggota DPRD Kota Malang.Hanya saja, tak mudah bagi kejari mengungkap kasus ini kembali. Apalagi, kasus tersebut mencuat jauh hari sebelum Hermut dinas di Kota Malang. Bahkan, dalam perjalanan, jabatan dan nama Hermut sempat dipakai oknum tak bertanggung jawab. "Orang lain memasang umpan seolah-olah suruhan saya," bebernya.Problem itu tak hanya menimpa kasus dugaan korupsi dewan, tapi juga kasus dugaan korupsi lain yang kini juga dalam penyidikan. Yakni, dugaan korupsi jasa sarana pelayanan medik RSAA (Rumah Sakit Saiful Anwar) Malang senilai ratusan juta. "Tiga hari lalu, ada telepon masuk ke RSSA bahwa saya menyuruh orang untuk memuluskan penyidikan," kata Hermut. Untungnya, pihak RSSA sigap dan melakukan koordinasi dengan penyidik. Problem lain adalah SMS (layanan pesan singkat) orang tak dikenal kepada istri Hermut yang dinas di Kejari Kabupaten Malang. Isi SMS itu intinya memberitahukan bahwa DPRD Kota Malang ingin damai dalam kasus ini. "Ada dua nomor yang mengaku. 085285920697 dan 08161613334. Nomor terakhir itu yang disebut sebagai nomor Kajari," ungkap Hermut. Saat nomor 0816163334 dihubungi, terdengar suara laki-laki menyambut. Dia siap menjembati kasus dugaan korupsi DPRD Kota Malang dengan uang damai Rp 500 juta. Laki-laki itu juga sempat mengirim empat nomor rekening bank. Masing-masing dua nomor rekening BCA atas nama Ernita Zandra dan Fisla Devi. Dua nomor rekening lain di BNI atas nama Irvine Aprilia Putra dan Edi Pramana. Keempat rekening yang dikirimkan itu beralamatkan Jakarta. "Pihak-pihak yang terkait penyidikan harus waspada dengan masalah seperti itu. Jangan sampai terkecoh mafia," imbau Kajari. (ny)

Selasa, Agustus 12, 2008

Jabatan Pangdam Diponegoro Diserah Terimakan



KRC,SEMARANG -

Jabatan Panglima Kodam IV/Diponegoro diserahterimakan dari Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro kepada penggantinya, Mayjen TNI Haryadi Soetanto, kemarin (12/8). Selain defile pasukan dan alutsista, Pangdam IV/Diponegoro yang baru itu juga disambut dengan atraksi barongan dari Wonogiri dan kuda lumping dari Temanggung.Haryadi yang sebelumnya menjabat Pangdam XVII/Cendrawasih tersenyum dan berkali-kali bertepuk tangan kala menyaksikan atraksi kesenian tradisional tersebut. Senyumnya semakin lebar saat melihat begitu guyubnya para prajurit TNI dengan punggawa barongan. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo menegaskan, singkatnya masa jabatan Darpito tak perlu dipersoalkan. Menurut Agustadi, hal itu biasa karena kebutuhan organisasi. "Di atasnya ada yang kosong, karena pensiun, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih pendek daripada biasanya," terang dia. Haryadi bukanlah orang baru di jajaran Kodam IV/Diponegoro. Sebelumnya, pada 2006, Haryadi pernah memangku jabatan orang kedua di jajaran TNI Jateng dan DIJ sebagai kepala staf kodam (Kasdam). Dia lalu dipromosikan sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih sebelum akhirnya kembali ke Jateng sebagai Pangdam IV/Diponegoro. Sejumlah penugasan di daerah operasi militer, baik dalam maupun luar negeri, pernah diembannya. Di antaranya menjadi anggota pasukan perdamaian yang tergabung dalam kontingen Garuda VIII pada 1979 dan Operasi Seroja I hingga III (1976-1984).(dd)

Modis Baju Untuk Para Koruptor



KRC, JAKARTA -

Gagasan memberi seragam kepada koruptor mendapat dukunga penuh Indonesia Corruption Watch (ICW). Kemarin para aktivis ICW mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menunjukkan desain baju khusus tersebut.Delapan desain ditunjukkan ke KPK. Tiga staf ICW memeragakan tiga baju, di antaranya di hadapan wartawan.ICW menganggap seragam untuk tahanan KPK sangat mendesak. Pasalnya, selama ini, baik tersangka maupun terdakwa korupsi, diberi keleluasaan mengenakan pakaian rapi, bahkan mewah. Pihak ICW mengusulkan tulisan ''Tahanan KPK Kasus Korupsi'' dalam seragam tersebut. Hal itu untuk menepis tudingan pelanggaran asas praduga tak bersalah terhadap para tahanan kasus korupsi tersebut. Desakan pemakaian seragam koruptor juga meluas. Itu karena masyarakat melihat terdakwa seperti Artalyta Suryani masih sempat berdandan modis layaknya selebriti. Bahkan, jaksa Urip pun tampak masih mengenakan baju safari layaknya pejabat yang masih aktif bertugas. Seragam itu diharapkan memberi efek jera.Seragam khusus koruptor sebenarnya bukan terobosan baru. Sejumlah negara, mulai Korea Selatan hingga Hongkong, sudah lama memberlakukan ketentuan tersebut. United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) bahkan memasukkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga perlu perlakuan khusus. Dan, seragam tersebut dapat secara langsung diasosiasikan dengan perlakuan khusus terhadap pelaku kejahatan korupsi.Soal lokasi penjara untuk koruptor, ICW menilai bahwa Nusakambangan dianggap belum menjamin efek jera. Sebab, menurut mereka, bisa saja para koruptor yang lazimnya dari kalangan berduit membawa sejumlah fasilitas khusus ke Nusakambangan. Hal itu dikhawatirkan justru mendorong diskriminasi dan mengurangi kesan bahwa mereka berada di tahanan.''Banyak kasus seperti itu. Seperti Bob Hasan atau Tommy Soeharto. Di Nusakambangan tetap saja ada perlakuan khusus,'' kata Koordinator Divisi Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho kepada kemarin.Menurut Emerson, adanya perlakuan khusus itu disebabkan masih menjamurnya praktik pemberian ''kelonggaran'' bagi para tahanan berduit. Hal itu, lanjutnya, mengindikasikan suburnya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan (lapas). Dia mencontohkan praktik sogok-menyogok antara sipir dan narapidana untuk memperoleh perlakuan khusus yang masih marak terjadi.(dd)

Minggu, Agustus 10, 2008

Dewan Salin Awasi KPK


KRC,JAKARTA -
Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) seperti perang dingin. Kedua institusi negara itu kini saling mempersiapkan instrumen untuk mengawasi satu sama lain.

Setelah KPK mendapat pintu untuk mengawasi pembahasan RAPBN di parlemen, kalangan DPR juga mempersiapkan mekanisme untuk mengawasi kinerja lembaga antikorupsi itu. Sejumlah anggota DPR menegaskan akan lebih ketat mengontrol serta mengawasi kerja KPK.

''Perlu saya tegaskan, DPR tidak begitu saja mengizinkan KPK masuk dalam rapat-rapat di DPR. Kalau KPK mau ikut sidang, harus seizin DPR,'' tegas Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Gayus Lumbuun kepada Jawa Pos kemarin (9/8).

Menurut dia, DPR akan meningkatkan pengawasan terhadap KPK lewat komisi III yang membidangi hukum, perundang-undangan, HAM, dan keamanan. Misalnya, komisi III kini menggodok tata cara atau mekanisme penyadapan yang dilakukan KPK.

Anggota DPR dari FPDIP itu menyebutkan bahwa KPK harus menjelaskan kepada para wakil rakyat tentang mekanisme penyadapan. ''KPK tidak boleh lagi sembarangan menyadap anggota DPR. Kontrol kepada KPK dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan yang dimiliki DPR,'' jelasnya.

Sebagaimana diketahui, investigasi korupsi yang dilakukan KPK lewat penyadapan telepon dan SMS telah menangkap sejumlah anggota DPR. Termasuk, Al Amin Nasution, anggota FPPP yang tertangkap basah menerima suap dari Pemkab Bintan. Saat ini, beberapa anggota DPR meringkuk di tahanan KPK dengan berbagai kasus korupsi.

Gayus mengungkapkan, memang ada yang mengusulkan agar DPR pasca-Pemilu 2009 membentuk komisi baru yang khusus membidangi korupsi. Semacam komisi antikorupsi. Sebab, selama ini, cakupan pembahasan korupsi di Komisi III DPR kurang luas karena berbenturan dengan tugas pengawasan di bidang perundangan, HAM, serta keamanan.

''Mungkin bisa saja dibentuk komisi khusus antikorupsi di DPR agar peran DPR ikut memberantas korupsi juga terlihat. Tapi, tidak untuk saat ini. Sekarang cukup komisi III itu,'' paparnya.

Mitra kerja komisi antikorupsi itu nanti adalah KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sementara itu, mitra kerja komisi hukum (saat ini komisi III) adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional HAM, Setjen Mahkamah Agung, Setjen Mahkamah Konstitusi, Setjen MPR, Setjen DPD, Badan Pembinaan Hukum Nasional, serta Komisi Yudisial.

''Namun, untuk saat ini, konsentrasi pengawasan kepada KPK hanya ada di Komisi III DPR. Komisi antikorupsi bisa saja dibahas oleh anggota baru DPR pasca-Pemilu 2009,'' ujarnya.

Yang jelas, kata dia, KPK tetap akan diawasi oleh DPR. Misalnya, terkait dengan bujet dan anggaran.

Politikus PBB Hamdan Zoelva menambahkan, kiprah KPK memang harus dikontrol agar tidak melenceng dari semangat awal saat dibentuk. Dalam penanganan korupsi, kata dia, KPK harus menjalankan fungsi koordinasi, supervisi (penyidikan), solusi (pencegahan), dan monitoring. ''Peran utama KPK adalah memberi pendidikan dan melakukan pencegahan. Tidak langsung menjadi eksekutor,'' tegas Hamdan di Jakarta kemarin.

Dia menilai, kengototan KPK mengikuti langsung rapat di DPR merupakan tindakan yang kurang tepat. ''KPK tidak harus face to face terlibat langsung. Seharusnya KPK cukup memeriksa hasil pembahasan dan memberi rekomendasi jika dinilai ada yang menjurus pada penyelewengan anggaran,'' ujarnya.

Mantan anggota DPR dari PBB tersebut menyatakan, secara historis, DPR selalu meng-up date pembentukan komisi sesuai kepentingan dan beban kerja DPR. Misalnya, pada Pemilu 1999 menghasilkan sembilan (IX) komisi. Namun, pada Pemilu 2004, DPR memekarkan komisi menjadi sebelas (XI) komisi. Ada komisi yang dipecah cakupannya dengan membuat komisi baru.

Merujuk kondisi saat ini, kata dia, bisa saja dibentuk komisi baru yang khusus menangani korupsi. Komisi antikorupsi tersebut akan menjadi mitra KPK. ''Kalau sudah seperti itu, KPK tidak perlu repot-repot minta ikut sidang DPR. Tinggal jalan saja dengan komisi antikorupsi yang dibentuk itu,'' jelasnya.

Sutan Bhatoegana, sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, menuturkan, dirinya juga khawatir tidak ada yang mengontrol KPK. Sebab, kata dia, sampai saat ini, Komisi III DPR terkesan tidak fokus membahas agenda korupsi pada sidang-sidangnya. ''Mungkin saja perlu dibentuk komisi antikorupsi agar fungsi pengawasan DPR bisa lebih maksimal,'' tegasnya.

Secara teknis, komisi antikorupsi DPR berjalan bersama KPK. Bahkan, bisa juga komisi antikorupsi DPR mendapat kewenangan aktivitas kerja seperti yang dimiliki KPK.

Anggota Komisi VI DPR Zulkifli Hasan menambahkan, meski telah diizinkan bisa mengikuti rapat pembahasan anggaran di DPR, KPK harus bekerja sesuai tugasnya. KPK mengawasi penyusunan anggaran, DPR bertugas di fungsi pengawasan, budgeting, dan membuat UU.

''Semestinya, memang bukan siapa harus mengawasi siapa, tapi semua harus tetap bekerja sesuai tugas dan fungsi masing-masing,'' ujarnya kemarin. (yy)