Kamis, November 05, 2009

Kapolri Gamblang Jelaskan Tak Ada Rekayasa Penahanan Bibit-Chandra


KRC,Jakarta
Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menjamin bahwa tidak ada rekayasa dalam kasus penetapan tersangka dan penahanan pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

”Tak ada anggota saya yang melacurkan diri, mempermalukan institusi. Kami pertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Tidak ada rekayasa di dalamnya,” ujar Kepala Polri dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, Kamis (5/11) malam.

Rapat itu dipimpin Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. Kepala Polri didampingi semua pimpinan Polri, antara lain Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara dan Komjen Susno Duadji. Namun, ia tak menyebutkan jabatan Susno sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Susno disebutkan mundur sementara dari jabatannya untuk memudahkan pemeriksaan yang akan dilakukan Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (Tim Delapan). Pemeriksaan itu akan dilakukan hari Jumat ini.

Bambang Hendarso menyatakan, jika selesai pemeriksaan di Tim Delapan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan sejumlah kalangan, terutama menerima dana Rp 10 miliar terkait aliran dana ke Bank Century, Susno akan dikembalikan pada posisinya. Susno dalam kesempatan itu kembali menegaskan, ia tak pernah menerima dana terkait Bank Century.

Siap dipecat

Bambang melanjutkan, kalau dalam penyidikan terkait pimpinan (nonaktif) KPK, Direktur Penyidikan Polri Brigadir Jenderal (Pol) Yulviannus Mahar dan jajaran penyidik melakukan rekayasa, mereka siap dipecat.

Rapat itu berlangsung terbuka setelah semua fraksi menyetujuinya. Semula Bambang menyatakan ada hal dalam penyidikan yang tidak mungkin dibuka untuk umum sehingga meminta pertimbangan Dewan. Setelah disetujui, Kepala Polri membuka hasil penyidikan terkait kasus Bibit dan Chandra, bahkan meluas pada perkara yang terkait dengan Masaro dengan pemiliknya, yakni Anggoro Widjojo dan Anggodo Widjojo. Anggoro adalah tersangka korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.

Bambang menyebutkan, Polri memiliki bukti, keterangan, saksi, dan saksi ahli yang menguatkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, penyuapan, dan pemerasan yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Kedua unsur pimpinan (nonaktif) KPK itu diduga menyalahgunakan wewenang terkait pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap Anggoro serta pencegahan dan pencabutan pencegahan terhadap Direktur PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.

Tindakan Bibit dan Tjandra itu tak diketahui pimpinan KPK lain. Selain itu, langkah keduanya juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Atas penjelasan Kepala Polri itu, sejumlah anggota DPR bertepuk tangan. Bahkan, sejumlah anggota DPR secara terbuka menyatakan prihatin atas kondisi yang belakangan ini sedang dihadapi Polri. Mereka mendukung langkah Polri untuk mengusut dugaan tindak pidana yang dilakukan Bibit dan Chandra.

Bambang Soesatyo dari Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR menyatakan tidak rela Polri diobok- obok. Polri harus diselamatkan dari kriminalisasi publik.

Dasrul Jabar dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) mengaku tak dapat memahami mengapa penahanan Bibit dan Chandra menjadi masalah yang besar. Sebab, penahanan itu sudah sesuai prosedur.

Namun, Ruhut Sitompul dari F-PD minta Kepala Polri memberikan sanksi yang tegas kepada Susno dan penyidik lain jika kelak Bibit dan Chandra dibebaskan di persidangan. ”Saya senyum saja mendengar sumpah Pak Susno. Saya juga banyak terima SMS, Susno itu gombal,” katanya. Pernyataan itu diberikan setelah Susno menyatakan tak pernah menerima uang Rp 10 miliar terkait kasus Bank Century.

Menteri Kehutanan

Kepala Polri juga membeberkan bukti rekaman adanya mobil dari pimpinan KPK ke Belagio dan Pasar Festival Jakarta, yang disebut-sebut sebagai lokasi penyerahan dana dari Anggodo, lewat Ary Muladi kepada pimpinan KPK. Namun, Bambang tak menyebutkan apakah dalam mobil itu benar ada Bibit dan Chandra atau tidak.

Bambang memaparkan adanya aliran dana sebesar Rp 17 miliar, Rp 3,5 miliar, dan Rp 6 miliar pada yang disebutkannya sebagai ”Bapak itu”. Namun, dalam penguraian berikutnya, ternyata dana Rp 17 miliar, yang diduga dari PT Masaro itu, bukanlah untuk pimpinan KPK. Dana itu diserahkan pada pejabat berinisial MK, yang kini sudah tak menjabat lagi. MK disebutkan memiliki kedekatan dengan CH (Chandra Hamzah).

T Gayus Lumbuun, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), memastikan apakah MK yang disebutkan Kepala Polri adalah mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, seperti yang disebutkan Tim Delapan. Bambang menjawab tak ingin menyatakan nama MK itu karena terkait asas praduga tak bersalah. ”Tetapi, karena Tim sudah menyebutkannya, kami idem (sama),” katanya.

Nasir Djamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) sempat mempertanyakan keterangan Bambang, yang menyebutkan KPK hanya mencegah Anggoro. Padahal, ia adalah pemilik PT Masaro. Pimpinan perusahaan itu, termasuk Direktur Putronefo Prayugo, tidak dicegah.

Kepala Polri pun meluruskan pernyataannya. Ia mengakui Putronefo dicegah oleh KPK sejak 22 Agustus 2008 pula, bersama Anggoro, Anggono Widjojo (Presiden Direktur PT Masaro Radiokom), dan David Angkawijaya.



Penahanan Anggodo

Terkait keberadaan Anggodo, Kepala Polri memastikan, ia masih di Indonesia. Polri sudah memintanya tetap siap memberikan keterangan, kapan pun diminta, termasuk dari Tim Delapan. Namun, Anggodo tak bisa dicegah sebab tak ada alasan untuk menahan atau mencegahnya.

Secara terpisah, Kamis, Tim Delapan bertemu dengan Anggodo di kantor Dewan Pertimbangan Presiden. Namun, dalam pertemuan itu, anggota Tim, Hikmahanto Juwana, tidak ikut serta. Ia menyatakan mengundurkan diri dan sudah mengembalikan keputusan presiden.

Ketua Tim Delapan Adnan Buyung Nasution menyatakan, akan melihat penahanan Bibit dan Chandra. ”Sampai ini semakin mengerucut untuk kita bisa menilai ada kasusnya atau tidak. Atau, ada kasus yang diada-adakan saja. Jadi, bukan lagi ada bukti atau tidak dan wajar atau tidak barang bukti itu,” ujarnya.

Tim Delapan, Kamis, juga bertemu dengan KPK yang dipimpin Ketua sementara KPK Tumpak Hatorangan Panggabean maupun Bibit dan Chandra yang didampingi kuasa hukumnya.

”Nanti, kalau sudah gelar perkara Sabtu besok, kita harapkan tidak lagi simpang siur dan sudah ada tali temalinya,” kata Adnan Buyung. Terkait Susno dan Wakil Jaksa Agung AH Ritonga yang mundur, Tim menghargai sikap Kapolri dan Jaksa Agung.(don)

Berantas Mafia Peradilan 100 hari Program Sby


KRC, Jakarta
Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung dinilai bisa mencoreng nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kisruh ini tidak lagi sekadar masalah hukum, tetapi sudah menjadi masalah politik.

Hal itu disampaikan profesor politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin Haris; Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy; dan guru besar kajian ilmu kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar.

”Masalah ini tidak lagi masalah hukum karena fakta-faktanya sudah sangat terang benderang. Mestinya pada kesempatan pertama Presiden mencopot Jaksa Agung dan Kapolri. Ini bukan hanya soal tuntutan mundurnya Susno, Wisnu, dan Ritonga,” kata Syamsudin.

Sahetapy juga mengatakan hal senada. ”Fakta hukum dalam rekayasa kasus Bibit dan Chandra dan pelemahan KPK sudah merupakan hal yang tak bisa dibantah lagi,” katanya.

Menurut Syamsudin, Kejagung dan Polri adalah lembaga di bawah Presiden. ”Presiden menjadi kunci dari semua masalah ini. Kepolisian dan kejaksaan tak mungkin bertindak seperti sekarang jika ada komitmen yang sungguh-sungguh dari Presiden,” katanya.

Sahetapy mengatakan, nama Presiden dipertaruhkan dalam kisruh ini. ”Sejak awal saya sudah menyampaikan Presiden tak perlu membentuk Tim Independen. Semua sudah jelas, sekarang tinggal ketegasan sikap,” ucapnya.

Ambil alih

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Selestinus meminta KPK mengambil alih penanganan kasus Anggodo Widjojo dari Polri karena polisi dan kejaksaan dinilai tidak cukup memiliki legitimasi dan kredibilitas. Selain itu, KPK juga diminta mengusut keterlibatan Susno Duadji dan AH Ritonga.

Anggodo, Susno, dan Ritonga, lanjutnya, dapat disidik dalam sebuah perkara sendiri. Mereka dapat saja diduga berada dalam rangkaian upaya penggagalan penyidikan kasus korupsi KPK.

Sementara itu, Kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hasrul Halili mengkritisi sikap Polri yang enggan menetapkan Anggodo sebagai tersangka dengan alasan belum cukup bukti. Langkah itu mengundang kecurigaan. Polisi bersikap konservatif dalam menangani Anggodo, tetapi terkesan sangat progresif dalam menangani kasus Chandra dan Bibit. Ia menduga ada nilai strategis yang cukup signifikan sehingga Anggodo tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Oleh karena itu, Hasrul meminta agar kasus ini tidak dilokalisasi hanya terkait rekaman pembicaraan telepon. Kasus itu dapat merembet ke mana-mana.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, lembaganya tengah mempertimbangkan untuk melakukan supervisi dan koordinasi terhadap penanganan kasus Anggodo. Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. ”Kami tak bisa begitu saja masuk ke kasus yang tengah ditangani kepolisian. Yang bisa kami lakukan adalah memberi supervisi dan koordinasi,” katanya.

Febri Diansyah, peneliti hukum Indonesian Corruption Watch, mengatakan, KPK harus didorong untuk menangkap Anggodo dengan pasal percobaan penyuapan. ”Pasal 5 Ayat 1 jo Pasal 15 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 bisa digunakan KPK untuk menjerat Anggodo,” katanya.

Sementara hakim konstitusi Akil Mochtar menilai Presiden seharusnya secara resmi mengadukan pencatutan namanya oleh Anggodo ke kepolisian sehingga polisi punya cukup bukti untuk menahan Anggodo. ”Presiden dapat mengadukan Anggodo dengan sangkaan telah melakukan penipuan, perbuatan tidak menyenangkan, atau pencemaran nama baik,” kata Akil.

Berantas mafia

Presiden Yudhoyono menetapkan pemberantasan mafia hukum sebagai salah satu dari 15 program pilihan yang akan dilakukan pemerintah dalam 100 hari pertama pemerintahannya.

”Yang saya sebut dengan mafia berkaitan dengan hukum adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan sebagainya. Di samping merusak rasa keadilan dan kepastian hukum, juga menimbulkan kerugian material bagi mereka yang menjadi korban dan mendatangkan keuntungan yang tidak halal, yang tidak legal, bagi mereka yang menjalankan kegiatan mafia itu,” ujar Presiden(don)

Sekitar 63 M Diselamatkan Akiibat Korupsi


KRC, Jakarta
Sepanjang tahun 2009, Kepolisian Republik Indonesia telah menyelamatkan kerugian negara akibat tindakan korupsi hampir Rp 63 miliar. Data tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dalam rapat dengan Komisi III DPR yang dimulai sejak Kamis (5/11) malam dan berakhir Jumat (6/11) sekitar pukul 03.00 WIB.

"Kerugian negara yang diselamatkan total Rp 62.875.385.000," ujarnya. Kapolri mengatakan jumlah korupsi yg ditangani Kepolisian tahun 2009 dari Januari sampai Oktober sejumlah 243 kasus. Dari sekian banyak kasus, yang P21 alias memenuhi syarat untuk disidangkan sebanyak 53 kasus, sedangkan sisanya masih dalam proses penyidikan dan sudah penyidikan.

Ia melanjutkan sejak disahkannya UU Pengadilan Tipikor, banyak hal-hal yang bisa segera dilakukan Kepolisian dengan Kejaksaan. Tim tipikor Kepolisian akan segera melakukan proses-proses penyidikan kasus-kasus penting terutama kasus-kasus atensi yang mampu diselesaikan Polri dan Kejaksaan dengan masuknya tim tipikor.

"Peran Polri dan Kejaksaan, apalagi tiga-tiganya (bersama KPK) bersinergi memerangi korupsi, ke depan pemberantasan korupsi lebih optimal," ujar Kapolri.

Sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi III, Kamis (5/11) pagi, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan KPK telah menyelamatkan keuangan negara sebanyak Rp 139 miliar dari 31 kasus korupsi sepanjang tahun 2009 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Saat, ini KPK juga sedang menghadapi 55 kasus yang sedang diproses di pengadilan.(ayu)